Faizal Rachman Soroti Restoran dan Rumah Makan yang Tidak Patuh Pajak

oleh -555 views
oleh

Sangatta – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur (Kutim), Faizal Rachman, menyoroti restoran dan rumah makan yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak dengan sepantasnya.

Faizal mengungkapkan kekhawatirannya terhadap restoran yang tidak mematuhi kewajiban pajak dan menyampaikan permintaan agar rumah makan yang tidak taat pajak diekspos. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha dalam membayar kewajiban mereka demi percepatan pembangunan daerah.

“Beberapa restoran yang ramai hanya membayar sekitar 500.000 rupiah per bulan,” ungkap Faizal di kantor DPRD Kutim pada Senin, 23 Oktober 2023.

Anggota fraksi PDI-P di dewan ini juga menyatakan bahwa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah mengaudit beberapa rumah makan di Kutai Timur. Namun, ia menekankan bahwa restoran besar seperti Kentucky Fried Chicken (KFC) dan Pizza Hut taat dalam kewajiban pajak.

Faizal menyampaikan bahwa menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapenda), setoran pajak masih kurang sekitar 200 juta rupiah, namun beberapa restoran menolak untuk membayarnya.

“Sebagai contoh, jika kita makan di restoran yang ramai, bayaran yang mereka terima bisa mencapai 500 ribu rupiah. Dengan pajak sekitar 10%, seharusnya pembayaran pajak minimal 50 ribu rupiah. Dengan 10 pengunjung, itu sudah 500 ribu rupiah. Tidak masuk akal jika restoran hanya membayar 500 ribu rupiah dalam sebulan,” paparnya.

Anggota komisi B tersebut menjelaskan bahwa pemerintah daerah memberikan kemudahan kepada wajib pajak melalui sistem self-assessment, di mana pemilik usaha merekam dan membayar pendapatannya sendiri. Namun, jika terdapat kecurigaan, Bapenda memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan.

Faizal juga menggarisbawahi pentingnya pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Retribusi Daerah dan Pajak Daerah dengan segera. Tanpa pengesahan tersebut, pemerintah tidak dapat melakukan penarikan retribusi dan pajak daerah.

“Jika Perda yang lama tidak segera diganti, kita tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan penarikan. Ini berpotensi menimbulkan kesalahan, karena kita masih menggunakan Perda lama dan undang-undang yang baru,” pungkasnya.

Baca terus artikel kami di GoogleNews