Sangatta – PT Indexim Coalindo dituding oleh warga Karangan telah mencemari lingkungan setelah melakukan penyerobotan tanah. Tuduhan ini disampaikan oleh Sudirman, bendahara kelompok tani Bina Warga.
Menanggapi laporan tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur (Kutim), Jimmi, meminta agar dilakukan penelitian terlebih dahulu sebelum mengeluarkan penilaian. Menurutnya, penting untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan atas tuduhan tersebut.
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan bahwa masyarakat tidak bisa langsung menyebut suatu bahan sebagai limbah. Yang berwenang menentukan apakah itu limbah atau bukan adalah pihak eksekutor, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
“Pemerintah kan punya DLH nih. Jadi memang pengawasannya dari pemerintah. Karena yang menentukan itu limbah atau bukan itu dinas terkait setelah dia turun ke lapangan nanti,” katanya saat ditemui beberapa waktu lalu.
Dia mencontohkan jika ada hasil tambak yang mati seperti ikan, biasanya masyarakat langsung menuding perusahaan terdekat dengan menyatakan itu adalah dampak limbah. Padahal itu belum tentu
Lebih jauh dia menegaskan bahwa jangankan perusahaan kecil lainnya, PT Kaltim Prim Coal (KPC) pun dijatuhkan sanksi belasan miliar jika merugikan warga. Jadi masyarakat mungkin bisa saja bilang itu limbah. Misalnya beberapa ekor ikan yang mati sudah disebut sebagai dampak limbah. Belum tentu begitu.”
“Jadi kita perlu analisa dari pemerintah. Kalau memang itu limbah, otomatis itu bisa kena denda. KPC aja kemarin itu kena denda, kalau tidak salah 11 miliar terkait dengan pencemaran sungainya,” sambungnya.
Jimmi lebih lanjut menegaska bahwa apa bila memang ada perusahaan lain yang dianggap mencemari lingkunga, maka harus diperiksa dulu bukti-bukti di lapangannya. Ini dilakukan agar masyarakat tidak melakukan tebak-tebakan.
“Jadi jelas legal formalnya. Serahkan ke pemerintah aja, ada ahlinya di sana kan. Kalau kita ini kan hanya asumsi, tebal-tebakan tidak berhadiah,” pintanya.
Meski begitu, apa yang dikatakan Jimmi bukan menunjukkan bahwa itu pernyataan yang mengabaikan laporan warga. Namun teknisnya masalah penentuan limbah itu ada di pihak terkait.
“Saya tekankan ini bukan berarti kita mengabaikan laporan warga, tapi memang secara teknis kita perlu menyatakan data valid untuk mengatakan itu limbah. Kalau limbah ini kan biasanya ada yang beracun ada yang tidak ya. Yang dikenakan denda itu biasa memang yang mengganggu,” tutupnya. (Adv)